Rabu, 30 Desember 2015

NIKE, PABRIK PENGHASIL KERINGAT

Mengapa demikian? Bukankah NIKE merupakan salah satu brand perlengkapan olahraga terbesar di dunia? Kok mereka menghasilkan keringat? Untuk apa?

Ternyata bukan seperti itu keringat yang dimaksud. Lalu keringat seperti apa? Keringat yang dimaksud disini adalah Sweatshop. Nike termasuk salah satu perusahaan yang terkait dengan kasus Sweatshop.

Apa itu Sweatshop? Sweatshop adalah julukan dari para aktivis untuk pabrik-pabrik yang mereka anggap sangat memeras keringat para pekerjanya. Selain itu juga dapat diartikan sebagai kondisi kerja yang melanggar hak azasi manusia dan kadang-kadang juga melanggar kebijakan publik.

Di era globalisasi sekarang, proses pembuatan suatu produk tidak harus terletak ditempat produk tersebut berasal. Keadaan seperti ini dilakukan oleh para produsen besar untuk mengincar negara berkembang sebagai pelabuhan untuk mendirikan pabrik-pabrik mereka.

Contohnya merek Nike tersebut. Seperti yang kita ketahui, merek Nike berasal dari Amerika Serikat. tetapi jika diteliti tag produknya, yang kita jumpai adalah tulisan "made in china", "made in vietnam", bahkan "made in indonesia". Itu berarti merek tersebut memproduksi produknya di negara lain bukan?

Mengapa demikian? Kenapa tidak mendirikan pabrik di negara asalnya? Hal tersebut lantaran upah pekerja di negara berkembang relatif lebih rendah ketimbang negara maju. Hal ini otomatis memangkas biaya produksi yang cukup besar.

Keadaan ini dimanfaatkan oleh Nike agar biaya produksi dapat ditekan semaksimal mungkin untuk menghasilkan keuntungan yang besar. Namun sayang keuntungan yang besar tersebut tidak berbarengan dengan kesejahteraan pekerja yang berada di Indonesia.

Kok bisa tidak sejahtera? Apa mereka tidak  digaji?
Para pekerja di gaji tetapi gaji mereka tidak sesuai dengan apa yang seharusnya mereka dapatkan.

sebagai contoh untuk satu unit jersey tim nasional Inggris misalnya. Nike membandrolnya dengan harga US$ 150 atau sama dengan Rp. 1.700.000 dengan kurs Rp. 11.xxx . Tapi untuk gaji buruh di Indonesia sebesar 50 cent atau Rp. 5.600 per jam untuk memproduksi jersey tersebut. Sangat menyedihkan bukan?

Mari kita lihat contoh lainnya. Phil Knight  selaku ketua dewan direksi dan juga salah satu pendiri Nike inc. memiliki gaji pokok Rp. 28.254.340.000 belum termasuk tunjangan dan lain-lain. jika kita bandingkan dengan gaji buruh Nike di Indonesia, gaji pokok Phil Knight tersebut dapat membayar upah 1400 buruh dalam satu tahun dengan perincian buruh bekerja selama 10 jam perhari, 30 hari perbulan dengan pendapatan Rp. 5600 per jam.

Hal tersebut jelas menuai kecaman dari berbagai lembaga kemanusiaan yang menilai bahwa Nike tidak bisa mensejahterakan para pekerjanya.

Tindakan tersebut jelas bertentangan dengan Undang-Undang Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 13 Tentang Ketenagakerjaan Pasal 4 yang berbunyi :

Pembangunan ketenagakerjaan bertujuan :

a. Memberdayakan dan mendayagunakan tenaga kerja secara optimal dan manusiawi

b. Mewujudkan pemerataan kesempatan kerja dan penyediaan tenaga kerja yang sesuai dengan kebutuhan pembangunan nasional dan daerah.

c. memberikan perlindungan kepada tenaga kerja dalam mewujudkan kesejahteraan.

d. meningkatkan kesejahteraan tenaga kerja dan keluarganya.

Kesimpulan

Dari bacaan diatas saya menyimpulkan bahwa sweatshop tidak etis sebagai mana cara mereka memperlakukan karyawannya. Bahkan pekerja di negara-negara miskin yang diuntungkan karena memiliki pekerjaan baru dan membuat mereka lebih baikpun dirasa masih tidak dihormati haknya sebagai manusia. Sebenarnya jika perusahaan dapat meningkatkan upah mereka, mungkin mereka dapat menghasilkan peningkatan produktivitas sehat dan lebih bahagia untuk bekerja.


Sumber :

http://hukum.unsrat.ac.id/uu/uu_13_03.htm
http://esotericafra.blogspot.co.id/2009/05/stop-shop-at-sweatshop.html
https://id.wikipedia.org/wiki/Sweatshop
https://dokasg.wordpress.com/2009/08/28/sweat-shop/
http://educatingforjustice.org/
http://bisnis.liputan6.com/read/2035119/nike-dikecam-gara-gara-kasih-upah-rendah-ke-buruh-ri